Monday, December 14, 2015

Prasangka, Diskriminasi dan Integrasi Masyarakat

1.Prasangka
   Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin prejudicium,yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut: 
Semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu.
Dalam bahasa inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak matang. 
Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional(suka-tidak suka)dalam keputusan yang telah diambil tersebut.

2.Diskriminasi
   Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan berdasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau karakteristik yang lain. Diskriminasi merupakan perilaku prejudice yang dilakukan secara nyata.
3.Integrasi masyarakat
   Integrasi masyarakat dapat diartikan adanya kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga, dan masyarakat secara keseluruhan sehingga menghasilkan persenyawaan-persenyawaan berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama-sama dijunjung tinggi. Dalam hal ini terjadi akomodasi, asimilasi dan berkurangnya prasangka-prasangka diantara anggota masyarakat secara keseluruhan.


Thanks Sudah Berkunjung :)

sumber :
http://ritaismail.blogspot.co.id/2012/01/prasangka-diskriminasi-dan-integritas.html?showComment=1450141562008#c4546115275328993687

Ø Prasangka Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin prejudicium,yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut: Semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu. Dalam bahasa inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak matang. Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional(suka-tidak suka)dalam keputusan yang telah diambil tersebut. Ø Diskriminasi Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan berdasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau karakteristik yang lain. Diskriminasi merupakan perilaku prejudice yang dilakukan secara nyata. Ø Integrasi masyarakat Integrasi masyarakat dapat diartikan adanya kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga, dan masyarakat secara keseluruhan sehingga menghasilkan persenyawaan-persenyawaan berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama-sama dijunjung tinggi. Dalam hal ini terjadi akomodasi, asimilasi dan berkurangnya prasangka-prasangka diantara anggota masyarakat secara keseluruhan. 1. Prasangka dan sikap Prasangka itu suatu sikap, yaitu sikap sosial. Menurut Morgan (1966), sikap adalah kecenderungan untuk berespon, baik secara positif maupun negatif terhadap orang, objek, atau situasi. Tentu saja kecenderungan untuk berespon ini meliputi perasaan atau pandangannya, yang tidak sama dengan tingkah laku. Sikap seseorang baru diketahui bila ia sudah bertingkah laku, selain motivasi dan norma masyarakat. Oleh karena itu kadang-kadang sikap bertentangan dengan tingkah laku. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci, dan sebagainya. Karena dalam sikap ada “suatu kecenderungan berespon”, maka seseorang mempunyai sikap yang umumnya mengetahui perilaku atau tindakan apa yang akan dilakukan bila bertemu dengan objeknya.Dari uraian tersebut dapat disimpulkan ,bahwa sikap mempunyai komponen-komponen, yakni : a. Kognitif : artinya memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya,terlepas pengetahuan itu benar atau salah. b. Afektif : artinya dalam bersikap akan selalu mempunyai evaluasi emosional (setuju-tidak setuju) mengenai objek sikapnya. c. Konatif : artinya kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan objek sikapnya, mulai dari bentuk yang positif (tindakan sosialisasi) sampai pada yang sangat aktif (tindakan agresif). 2. Kategorisasi dan stereotipe Proses pengambilan keputusan dengan jalan pengelompokan benda ke dalam kelompok tertentu ini disebut “kategorisasi”, dan proses pengkhususan kategori sampai pengambilan keputusan disebut bracketing process atau proses penyempitan. Meletakkan suatu benda, manusia atau peristiwa ke dalam kategori tertentu berfngsi agar individu mempunyai pegangan dalam bertingkah laku dan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Kategori pada dasarnya merupakan suetu proses kognitif yang netral, artinya menetapkan benda ke dalam kategori tertentu, individu tidak ikut menilai. Konsep yang tetap mengenai suatu kategori tertentu yang disebut stereotipe. Maka dapat diartikan bahwa stereotipe merupakan tanggapan atau gambaran tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang/golongan lain yang bercorak negatif akibat tidak lengkapnya informasi dan sifatnya yang subjektif. Dalam melakukan penilaian mengenai sesuatu, individu cenderug menyederhanakan kategori ke dalam dua kutub,seperti kaya-miskin,rajin-malas, pandai-bodoh. Dengan demikian stereotipe bukan saja suatu kategori yang tetap, tetapi juga mengandung penyederhanaan dan pemukulrataan secara berlebih-lebihan sehingga merupakan dasar dari prasangka atau diperkokoh oleh stereotipe. 3. Prasangka dan diskriminasi Seseorang yang mempunyai prasangka rasial biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang diprasangkanya. Tetapi dapat pula orang bertindak diskriminatif tanpa didasari prasangka,dan sebaliknya. Prasangka menunjukkan pada sikap sedangkan diskriminatif pada tindakan. Dalam konteks rasial,prasangka diartikan “suatu sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras tertentu yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi”. Dalam hal ini terkandung ketidakadilan dalam arti sikap yang diambilnya dari beberapa pengalaman. Dalam menghadapi objek prasangka akan bersikap tidak toleran,menyorotnya tidak dari keunikan objek prasangka, tetapi dari kelompok etnis mana individu tergolong. 4. Prasangka Dan Integrasi Masyarakat Integrasi masyrakat akan terwujud apabila mampu mengendalikan prasangka yang ada di masyarakat sehingga tidak terjadi konflik, dominasi dan tumbuh integrasi tanpa paksaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan integrasi pada masyarakat majemuk dilakukan dengan mengatasi atau mengurangi prasangka. Dalam memahami integrasi masyarakat juga ada integrasi nasional yang sama- sama menyangkut masalah struktur. Menurut Ernest Renan, untuk terciptanya integrasi nasional perlu adanya satu jiwa, satu azas spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk dari perasaan yang timbul sebagai akibat pengorbanan yang telah dibuat masa depan. Berikut merupakan 4 sistem yang dapat mengurangi konflik akibat prasangka, yaitu: 1. System budaya seperti nilai- nilai Pancasila dan UUD 1945 2. Sistem sosial seperti kolektif- kolektif sosial dalam segala bidang 3. System kepribadian yang terwujud sebagai pola-pola penglihatan( persepsi ), perasaan, pola- pola penilaian yang dianggap pola-pola keIndonesiaan. 4. System organic jasmaniah dimana nasional tidak berdasarkan atas persamaan ras. 5. Sebab-sebab terjadinya prasangka Menurut Gordon Allport(1958) ada lima pendekatan dalam menentukan sebab terjadinya prasangka : a. Pendekatan Historis Pendekatan ini didasarkan atas teori pertentangan kelas yaitu menyalahkan kelas rendah.Sementara mereka yang tergolong dalam kelas atas mempunyai alasan untuk berprasangka terhadap kelas rendah. b. Pendekatan Sosiokultural dan Situasional Pendekatan ini ditekankan pada kondisi saat ini sebagai penyebab timbulnya prasangka,yang dapat di bagi menjadi: 1. Mobilitas sosial 2. Konflik antar kelompok 3. Stigma perkantoran 4. Sosialisasi c. Pendekatan kepribadian Teori ini menekankan pada faktor kepribadian sebagai penyebab prasangka,disebut dengan teori”frustasi agresi”( J. Dollard dan N. Miller). Menurut teori ini kadaan frustasi merupakan kondisi yang cukup untuk timbulnya tingkah laku agresif,dimana frustasi muncul dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh atasan(status yang lebih tinggi) d. Pendekatan Fenomenologis Pendekatan ini ditekankan pada bagaimana individu memandang atau mempersepsikan lingkungannya sehingga persepsilah yang menyebabkan prasangka. e. Pendekatan Naive Pendekatan ini menyatakan bahwa prasangka lebih menyoroti obyek prasangka, dan tidak menyoroti individu yang berprasangka. MENGATASI ATAU MENGURANGI PRASANGKA Untuk mengurangi atau mengatasi prasangka dilakukan dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi, melalui pendidikan anak, melakukan interaksi yang lebih intensif antara masing-masing kelompok dan harus memenuhi setidaknya empat syarat berikut: 1. Adanya dukungan sosial dan institusional Dukungan diberikan oleh pihak otoritas yang berwenang ,dalam hal ini bisa pemerintah ,sekolah,orang tua,dan lain-lain.Otoritas biasanya berada dalam posisibisa memberi sanksi. 2. Ada potensi saling mengenal Hubungan antar etnik yang memungkinkan saling mengenal secara pribadi antar anggota kelompok yang berlainan bisa mengurangi prasangka .Hubungan itu mesti dalam wktu yang cukup dengan frekuensi yang tinggidan adanya kedekatan yang memungkinkan peluang membangun hubungan erat dan bermakna antar anggota kelompok yang berkaitan. 3. Adanya status yang setara antara pihak-pihak yang berinterksi Jika satu kelompok lebih dominandibanding kelompok lain,maka interaksi antar kelompokbelum tentu dapat mengurangi prasangka. 4. Adanya kerjasama

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Ø Prasangka Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin prejudicium,yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut: Semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu. Dalam bahasa inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak matang. Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional(suka-tidak suka)dalam keputusan yang telah diambil tersebut. Ø Diskriminasi Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan berdasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau karakteristik yang lain. Diskriminasi merupakan perilaku prejudice yang dilakukan secara nyata. Ø Integrasi masyarakat Integrasi masyarakat dapat diartikan adanya kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga, dan masyarakat secara keseluruhan sehingga menghasilkan persenyawaan-persenyawaan berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama-sama dijunjung tinggi. Dalam hal ini terjadi akomodasi, asimilasi dan berkurangnya prasangka-prasangka diantara anggota masyarakat secara keseluruhan. 1. Prasangka dan sikap Prasangka itu suatu sikap, yaitu sikap sosial. Menurut Morgan (1966), sikap adalah kecenderungan untuk berespon, baik secara positif maupun negatif terhadap orang, objek, atau situasi. Tentu saja kecenderungan untuk berespon ini meliputi perasaan atau pandangannya, yang tidak sama dengan tingkah laku. Sikap seseorang baru diketahui bila ia sudah bertingkah laku, selain motivasi dan norma masyarakat. Oleh karena itu kadang-kadang sikap bertentangan dengan tingkah laku. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci, dan sebagainya. Karena dalam sikap ada “suatu kecenderungan berespon”, maka seseorang mempunyai sikap yang umumnya mengetahui perilaku atau tindakan apa yang akan dilakukan bila bertemu dengan objeknya.Dari uraian tersebut dapat disimpulkan ,bahwa sikap mempunyai komponen-komponen, yakni : a. Kognitif : artinya memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya,terlepas pengetahuan itu benar atau salah. b. Afektif : artinya dalam bersikap akan selalu mempunyai evaluasi emosional (setuju-tidak setuju) mengenai objek sikapnya. c. Konatif : artinya kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan objek sikapnya, mulai dari bentuk yang positif (tindakan sosialisasi) sampai pada yang sangat aktif (tindakan agresif). 2. Kategorisasi dan stereotipe Proses pengambilan keputusan dengan jalan pengelompokan benda ke dalam kelompok tertentu ini disebut “kategorisasi”, dan proses pengkhususan kategori sampai pengambilan keputusan disebut bracketing process atau proses penyempitan. Meletakkan suatu benda, manusia atau peristiwa ke dalam kategori tertentu berfngsi agar individu mempunyai pegangan dalam bertingkah laku dan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Kategori pada dasarnya merupakan suetu proses kognitif yang netral, artinya menetapkan benda ke dalam kategori tertentu, individu tidak ikut menilai. Konsep yang tetap mengenai suatu kategori tertentu yang disebut stereotipe. Maka dapat diartikan bahwa stereotipe merupakan tanggapan atau gambaran tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang/golongan lain yang bercorak negatif akibat tidak lengkapnya informasi dan sifatnya yang subjektif. Dalam melakukan penilaian mengenai sesuatu, individu cenderug menyederhanakan kategori ke dalam dua kutub,seperti kaya-miskin,rajin-malas, pandai-bodoh. Dengan demikian stereotipe bukan saja suatu kategori yang tetap, tetapi juga mengandung penyederhanaan dan pemukulrataan secara berlebih-lebihan sehingga merupakan dasar dari prasangka atau diperkokoh oleh stereotipe. 3. Prasangka dan diskriminasi Seseorang yang mempunyai prasangka rasial biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang diprasangkanya. Tetapi dapat pula orang bertindak diskriminatif tanpa didasari prasangka,dan sebaliknya. Prasangka menunjukkan pada sikap sedangkan diskriminatif pada tindakan. Dalam konteks rasial,prasangka diartikan “suatu sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras tertentu yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi”. Dalam hal ini terkandung ketidakadilan dalam arti sikap yang diambilnya dari beberapa pengalaman. Dalam menghadapi objek prasangka akan bersikap tidak toleran,menyorotnya tidak dari keunikan objek prasangka, tetapi dari kelompok etnis mana individu tergolong. 4. Prasangka Dan Integrasi Masyarakat Integrasi masyrakat akan terwujud apabila mampu mengendalikan prasangka yang ada di masyarakat sehingga tidak terjadi konflik, dominasi dan tumbuh integrasi tanpa paksaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan integrasi pada masyarakat majemuk dilakukan dengan mengatasi atau mengurangi prasangka. Dalam memahami integrasi masyarakat juga ada integrasi nasional yang sama- sama menyangkut masalah struktur. Menurut Ernest Renan, untuk terciptanya integrasi nasional perlu adanya satu jiwa, satu azas spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk dari perasaan yang timbul sebagai akibat pengorbanan yang telah dibuat masa depan. Berikut merupakan 4 sistem yang dapat mengurangi konflik akibat prasangka, yaitu: 1. System budaya seperti nilai- nilai Pancasila dan UUD 1945 2. Sistem sosial seperti kolektif- kolektif sosial dalam segala bidang 3. System kepribadian yang terwujud sebagai pola-pola penglihatan( persepsi ), perasaan, pola- pola penilaian yang dianggap pola-pola keIndonesiaan. 4. System organic jasmaniah dimana nasional tidak berdasarkan atas persamaan ras. 5. Sebab-sebab terjadinya prasangka Menurut Gordon Allport(1958) ada lima pendekatan dalam menentukan sebab terjadinya prasangka : a. Pendekatan Historis Pendekatan ini didasarkan atas teori pertentangan kelas yaitu menyalahkan kelas rendah.Sementara mereka yang tergolong dalam kelas atas mempunyai alasan untuk berprasangka terhadap kelas rendah. b. Pendekatan Sosiokultural dan Situasional Pendekatan ini ditekankan pada kondisi saat ini sebagai penyebab timbulnya prasangka,yang dapat di bagi menjadi: 1. Mobilitas sosial 2. Konflik antar kelompok 3. Stigma perkantoran 4. Sosialisasi c. Pendekatan kepribadian Teori ini menekankan pada faktor kepribadian sebagai penyebab prasangka,disebut dengan teori”frustasi agresi”( J. Dollard dan N. Miller). Menurut teori ini kadaan frustasi merupakan kondisi yang cukup untuk timbulnya tingkah laku agresif,dimana frustasi muncul dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh atasan(status yang lebih tinggi) d. Pendekatan Fenomenologis Pendekatan ini ditekankan pada bagaimana individu memandang atau mempersepsikan lingkungannya sehingga persepsilah yang menyebabkan prasangka. e. Pendekatan Naive Pendekatan ini menyatakan bahwa prasangka lebih menyoroti obyek prasangka, dan tidak menyoroti individu yang berprasangka. MENGATASI ATAU MENGURANGI PRASANGKA Untuk mengurangi atau mengatasi prasangka dilakukan dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi, melalui pendidikan anak, melakukan interaksi yang lebih intensif antara masing-masing kelompok dan harus memenuhi setidaknya empat syarat berikut: 1. Adanya dukungan sosial dan institusional Dukungan diberikan oleh pihak otoritas yang berwenang ,dalam hal ini bisa pemerintah ,sekolah,orang tua,dan lain-lain.Otoritas biasanya berada dalam posisibisa memberi sanksi. 2. Ada potensi saling mengenal Hubungan antar etnik yang memungkinkan saling mengenal secara pribadi antar anggota kelompok yang berlainan bisa mengurangi prasangka .Hubungan itu mesti dalam wktu yang cukup dengan frekuensi yang tinggidan adanya kedekatan yang memungkinkan peluang membangun hubungan erat dan bermakna antar anggota kelompok yang berkaitan. 3. Adanya status yang setara antara pihak-pihak yang berinterksi Jika satu kelompok lebih dominandibanding kelompok lain,maka interaksi antar kelompokbelum tentu dapat mengurangi prasangka. 4. Adanya kerjasama

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Ø Prasangka Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin prejudicium,yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut: Semula diartikan sebagai suatu preseden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu. Dalam bahasa inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak matang. Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur emosional(suka-tidak suka)dalam keputusan yang telah diambil tersebut. Ø Diskriminasi Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan berdasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau karakteristik yang lain. Diskriminasi merupakan perilaku prejudice yang dilakukan secara nyata. Ø Integrasi masyarakat Integrasi masyarakat dapat diartikan adanya kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga, dan masyarakat secara keseluruhan sehingga menghasilkan persenyawaan-persenyawaan berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama-sama dijunjung tinggi. Dalam hal ini terjadi akomodasi, asimilasi dan berkurangnya prasangka-prasangka diantara anggota masyarakat secara keseluruhan. 1. Prasangka dan sikap Prasangka itu suatu sikap, yaitu sikap sosial. Menurut Morgan (1966), sikap adalah kecenderungan untuk berespon, baik secara positif maupun negatif terhadap orang, objek, atau situasi. Tentu saja kecenderungan untuk berespon ini meliputi perasaan atau pandangannya, yang tidak sama dengan tingkah laku. Sikap seseorang baru diketahui bila ia sudah bertingkah laku, selain motivasi dan norma masyarakat. Oleh karena itu kadang-kadang sikap bertentangan dengan tingkah laku. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci, dan sebagainya. Karena dalam sikap ada “suatu kecenderungan berespon”, maka seseorang mempunyai sikap yang umumnya mengetahui perilaku atau tindakan apa yang akan dilakukan bila bertemu dengan objeknya.Dari uraian tersebut dapat disimpulkan ,bahwa sikap mempunyai komponen-komponen, yakni : a. Kognitif : artinya memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya,terlepas pengetahuan itu benar atau salah. b. Afektif : artinya dalam bersikap akan selalu mempunyai evaluasi emosional (setuju-tidak setuju) mengenai objek sikapnya. c. Konatif : artinya kecenderungan bertingkah laku bila bertemu dengan objek sikapnya, mulai dari bentuk yang positif (tindakan sosialisasi) sampai pada yang sangat aktif (tindakan agresif). 2. Kategorisasi dan stereotipe Proses pengambilan keputusan dengan jalan pengelompokan benda ke dalam kelompok tertentu ini disebut “kategorisasi”, dan proses pengkhususan kategori sampai pengambilan keputusan disebut bracketing process atau proses penyempitan. Meletakkan suatu benda, manusia atau peristiwa ke dalam kategori tertentu berfngsi agar individu mempunyai pegangan dalam bertingkah laku dan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Kategori pada dasarnya merupakan suetu proses kognitif yang netral, artinya menetapkan benda ke dalam kategori tertentu, individu tidak ikut menilai. Konsep yang tetap mengenai suatu kategori tertentu yang disebut stereotipe. Maka dapat diartikan bahwa stereotipe merupakan tanggapan atau gambaran tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang/golongan lain yang bercorak negatif akibat tidak lengkapnya informasi dan sifatnya yang subjektif. Dalam melakukan penilaian mengenai sesuatu, individu cenderug menyederhanakan kategori ke dalam dua kutub,seperti kaya-miskin,rajin-malas, pandai-bodoh. Dengan demikian stereotipe bukan saja suatu kategori yang tetap, tetapi juga mengandung penyederhanaan dan pemukulrataan secara berlebih-lebihan sehingga merupakan dasar dari prasangka atau diperkokoh oleh stereotipe. 3. Prasangka dan diskriminasi Seseorang yang mempunyai prasangka rasial biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang diprasangkanya. Tetapi dapat pula orang bertindak diskriminatif tanpa didasari prasangka,dan sebaliknya. Prasangka menunjukkan pada sikap sedangkan diskriminatif pada tindakan. Dalam konteks rasial,prasangka diartikan “suatu sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras tertentu yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi”. Dalam hal ini terkandung ketidakadilan dalam arti sikap yang diambilnya dari beberapa pengalaman. Dalam menghadapi objek prasangka akan bersikap tidak toleran,menyorotnya tidak dari keunikan objek prasangka, tetapi dari kelompok etnis mana individu tergolong. 4. Prasangka Dan Integrasi Masyarakat Integrasi masyrakat akan terwujud apabila mampu mengendalikan prasangka yang ada di masyarakat sehingga tidak terjadi konflik, dominasi dan tumbuh integrasi tanpa paksaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan integrasi pada masyarakat majemuk dilakukan dengan mengatasi atau mengurangi prasangka. Dalam memahami integrasi masyarakat juga ada integrasi nasional yang sama- sama menyangkut masalah struktur. Menurut Ernest Renan, untuk terciptanya integrasi nasional perlu adanya satu jiwa, satu azas spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk dari perasaan yang timbul sebagai akibat pengorbanan yang telah dibuat masa depan. Berikut merupakan 4 sistem yang dapat mengurangi konflik akibat prasangka, yaitu: 1. System budaya seperti nilai- nilai Pancasila dan UUD 1945 2. Sistem sosial seperti kolektif- kolektif sosial dalam segala bidang 3. System kepribadian yang terwujud sebagai pola-pola penglihatan( persepsi ), perasaan, pola- pola penilaian yang dianggap pola-pola keIndonesiaan. 4. System organic jasmaniah dimana nasional tidak berdasarkan atas persamaan ras. 5. Sebab-sebab terjadinya prasangka Menurut Gordon Allport(1958) ada lima pendekatan dalam menentukan sebab terjadinya prasangka : a. Pendekatan Historis Pendekatan ini didasarkan atas teori pertentangan kelas yaitu menyalahkan kelas rendah.Sementara mereka yang tergolong dalam kelas atas mempunyai alasan untuk berprasangka terhadap kelas rendah. b. Pendekatan Sosiokultural dan Situasional Pendekatan ini ditekankan pada kondisi saat ini sebagai penyebab timbulnya prasangka,yang dapat di bagi menjadi: 1. Mobilitas sosial 2. Konflik antar kelompok 3. Stigma perkantoran 4. Sosialisasi c. Pendekatan kepribadian Teori ini menekankan pada faktor kepribadian sebagai penyebab prasangka,disebut dengan teori”frustasi agresi”( J. Dollard dan N. Miller). Menurut teori ini kadaan frustasi merupakan kondisi yang cukup untuk timbulnya tingkah laku agresif,dimana frustasi muncul dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh atasan(status yang lebih tinggi) d. Pendekatan Fenomenologis Pendekatan ini ditekankan pada bagaimana individu memandang atau mempersepsikan lingkungannya sehingga persepsilah yang menyebabkan prasangka. e. Pendekatan Naive Pendekatan ini menyatakan bahwa prasangka lebih menyoroti obyek prasangka, dan tidak menyoroti individu yang berprasangka. MENGATASI ATAU MENGURANGI PRASANGKA Untuk mengurangi atau mengatasi prasangka dilakukan dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi, melalui pendidikan anak, melakukan interaksi yang lebih intensif antara masing-masing kelompok dan harus memenuhi setidaknya empat syarat berikut: 1. Adanya dukungan sosial dan institusional Dukungan diberikan oleh pihak otoritas yang berwenang ,dalam hal ini bisa pemerintah ,sekolah,orang tua,dan lain-lain.Otoritas biasanya berada dalam posisibisa memberi sanksi. 2. Ada potensi saling mengenal Hubungan antar etnik yang memungkinkan saling mengenal secara pribadi antar anggota kelompok yang berlainan bisa mengurangi prasangka .Hubungan itu mesti dalam wktu yang cukup dengan frekuensi yang tinggidan adanya kedekatan yang memungkinkan peluang membangun hubungan erat dan bermakna antar anggota kelompok yang berkaitan. 3. Adanya status yang setara antara pihak-pihak yang berinterksi Jika satu kelompok lebih dominandibanding kelompok lain,maka interaksi antar kelompokbelum tentu dapat mengurangi prasangka. 4. Adanya kerjasama

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu

Agama dan Masyarakat



Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang ati dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agama para tasauf.
Bukti-bukti itu sampai pada pendapat bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial dan invidu dengan masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus akibat tidak terlembaganya agama adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini, pertama, disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di mana individu merasa aman dan responsive dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama yang telah memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.

1. Fungsi Agama
    Ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama dapat mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan tersebut timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
     Manusia yang berbudaya, menganut berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transdental.
    Aksioma teori di atas adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
     Jadi, seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.

       Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
       Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
        Fungsi agama di sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka.
        Fungsi agama sebagai sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu.

        Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut Roland Robertson (1984), dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :

a.Dimensi keyakinan mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu.
b.Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
c.Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.

       Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
       Umumnya, Kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.

2. Pelembagaan Agama
    Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
     Dimensi ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.

Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
   Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
  1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
  2. Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
   Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.

    Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
     Agama melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
     Adanya organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
     Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan.
     Lembaga ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
    Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah, kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf (singgah).
     Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya. Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali.
    Setelah itu dengan kuasa Tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal. Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu).
      Sewaktu Ismail akan disembelih oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba) jantan. Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
      Jadi, kewajiban tersebut, esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”, “keesaan”, “ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.


Thanks Sudah Berkunjung :)

sumber :
http://karinarisaf.blogspot.co.id/2011/01/agama-dan-masyarakat.html